Senin, 03 Januari 2011

DUNIA MILIK PARA PEREMPUAN






Menejemen hidup yang pas pasan menghantarkan kiprah perempuan dijenjang keterpurukan, keterbelakang pendidikan membuat sosok ini menjadi amat terancam, hidup dibawah garis kemiskinan adalah hal utama yang di rasakan kaum perempuan dalam mengisi hari harinya bersama keluarga perubahan jaman yang tak terelakkan juga merupakan factor yang sering di hadapi oleh kaum perempuan. Sudah tidak asing lagi di telinga kita bahwa menjadi perempuan kuat dan mandiri adalah menjadi perempuan yang tahu batas-batas kemampuannya dan berusaha sebaik mungkin menyelaraskan kepentingan orang lain dengan kepentingannya sendiri, tetapi apakah kata – kata” batas kemampuan “ ini berlaku bagi sebagian perempuan di negeri ini?
                “ Aku rela menjadi TKI demi kehidupan keluargaku”, “Aku pernah menjadi seorang pemecah batu demi keluarga dan anak – anakku  aku”, “ Aku pernah menjadi seorang pemulung demi keluarga dan anak – anakku aku rela mengais rejeki melalui tumpukkan sampah ibu kota”, “ Aku pernah menjadi seorang penyapu jalanan aku rela karena demi anak –anak”, “Aku pernah menjadi seorang kupu – kupu malam, karena keterpaksaan hidup  dan demi sesuap nasi untuk anak – anakku”, aku rela,aku rela dan aku rela..
Itulah petikan bait kata – kata yang keluar dari bibir seorang perempuan, entah apa namanya inilah realitas yang terjadi di negeri ini, ironis memang ketika perempuan harus bertarung dengan waktu dan ketika perempuan harus berjuang sendiri untuk menghidupi keluarganya meskipun terselip pandangan miring di sebagian manusia yang berbeda kelamin, di sudut pandang lain faktanya perempuan adalah   kepala keluarga (women headed household)  sebagai penopang seluruh kebutuhan yang ada di dalam lingkungan keluarga. Permasalahan gender muncul kembali apabila kebutuhan khusus untuk perempuan tidak terpenuhi seperti pepatah mengatakan tak ada rotan akar pun jadi. Pada dasarnya tidak semua perempuan di Indonesia khususnya memiliki keluarga yang sejahtera, makmur dan mempunyai banyak uang untuk menyekolahkan anak – anak mereka mungkin bisa saja sampai tujuh turunan tetap akan menjadi perempuan pekerja kasar yang sering kita lihat di pinggiran kota bahkan desa, di kalangan pembela kesetaraan gender yang sukses memang selalu mengatakan, perempuan yang tidak berpendidikan pasti akan tertindas atau perempuan yang bekerja disektor formal maupun informal adalah perempuan yang telah melaksanakan faham kesetaraan gender tetapi faktanya masih ada saja perempuan yang terlibat kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. Kehidupan social memang beragam bentuknya akan tetapi di satu sisi para kaum hawa sudah seharusnya menyingsingkan lengan baju untuk terus bergerak menantang kemajuan zaman entah ia berpendidikan atau tidak berpendidikan saat sekarang ini perempuan harus bisa menjadi sosok ganda di dalam keluarga sebagai ibu yang melahirkan dan mendidik anak –anaknya juga sebagai kepala rumah tangga yang bijaksana, kita sebagai perempuan tidak perlu takut untuk menjalani hidup ini selama jantung masih berdetak, dunia adalah milik kita para perempuan perkasa.       (  By, Fibtin Masnuni )

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

             
                   Dasar hukum UU No. 32 tahun 2004 memberi makna tidak ada diskriminasi terhadap hak atau kepentingan politik kaum perempuan dalam proses pemilihan kepala daerah, secara konseptual dan teknis mekanisme pemilihan kepala daerah memberikan peluang yang luas bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi secara penuh namun menyimak kenyataan dilapangan dalam proses awalan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang mulai berkembang di sejumlah daerah ternyata ada fenomena politik yang kontradiksi dengan harapan yang di lekatkan oleh kaum perempuan . Pemilihan kepala daerah adalah momen yang tepat bagi perempuan untuk ambil bagian dalam proses seleksi kepemimpinan daerah. Calon perempuan dalam pemilihan kepala daerah akan memiliki peluang yang sama besar dengan calon laki – laki, karena calon perempuan akan bertarung untuk memperebutkan secara langsung suara dari rakyat dan bukan suara dari legislative yang komposisinya di dominasi kaum laki – laki pemilih perempuan yang jumlahnya separuh lebih dari pemilih laki – laki merupakan peluang calon perempuan untuk meraup suara.
                Hasil dari penelitian ini, bahwa partisipasi politik perempuan dalam penetapan pemilih, kampanye, pemungutan suara, penetapan calon terpilih dapat dilakukan dengan efektif, bentuk realisasi dari partisipasi perempuan dalam pemilihan kepala daerah tersebut dapat di buktikan dalam politik praktis, yang mana sebelumnya pemerintah belum melibatkan kaum perempuan dalam dunia politik praktis maka dengan pemilihan secara terbuka, pemerintah daerah mencoba dengan membuka ruang bagi perempuan untuk melakukan atau ikut serta dalam politik praktis. Dengan di bukanya ruang gender ini maka para aktivis perempuan tidak menyia – nyiakan kesempatan dalam mempraktikkan politik perempuan di muka public ( Fibtin masnuni, S.IP. ,STPMD” APMD” Yogyakarta 2006  )